Selasa, 09 Desember 2008

Takzimku Untukmu, Bapak

Hari masih pagi ketika aku dibangunkan di suatu subuh yang cerah, “Ayo bangun nak, tunaikan shalat! hari ini Idul Fitri, bukankah katamu tadi malam mau ikut bersilaturahmi ke mesjid”...Aku tergeragap, kupaksakan diriku untuk bangun sekalipun mata terasa pedas, oh iya pantas saja karena tadi malam tidurku tidak biasanya, ini tahun pertama aku diizinkan tidur hingga menjelang pagi, ikut bertakbir di mesjid bersama orang tua dan teman sebayaku, ah serunya...

Kumandang azan shubuh mengantarku pergi berwudlu, tak lama kemudian aku sudah bersiap mematut-matut diri didepan cermin, mengenakan kain sarung baru hasil tabungan uang jajanku (ini memang keinginan sendiri, belakangan aku tahu ternyata uang tabungan nggak cukup buat beli sarung, sisanya pasti ditambahi bapak) sekilas kulihat bayangannya di depan cermin, matanya berkaca-kaca...aku tahu pasti hatinya takjub melihat anak kebanggaannya sudah beranjak remaja.

Aku memanggilnya Bapak, bagiku tidak ada lagi lelaki pembentuk hidupku yang patut dibanggakan selain dirinya, perawakannya sedang, tutur katanya mengalir meresap ke dalam sanubari, hal yang selalu kami sukai yaitu sore hari tatkala beliau pulang kantor. Setiap hari ada saja yang beliau bawa sebagai buah tangan, tak perduli apapun bentuknya, oleh-oleh itu selalu menjadi rebutan buatku dan kakak-kakakku. Bapak selalu mengerti, salahsatu buah tangan farovitku adalah majalah anak-anak si-kuncung, terkadang beliau membeli mainan, terkadang makanan, apapun bagi kami sebenarnya tak jadi soal, bahkan ketika suatu kali beliau lupa pun kami tetap menyambut dan membawakan tasnya masuk, setelah beliau beristirahat ini saatnya kami berkumpul mendengarkan cerita-ceritanya, beliau memang menjalani berbagai profesi dalam mengiringi langkahnya sebagai guru yang semuanya dia tujukan untuk kemajuan pendidikan anak didiknya. Bapakku memang hebat, sehebat ceritanya, lucu, sekaligus pandai menyelipkan hikmah dibaliknya. Ah masa kecil yang indah.

Semburat jingga mengantarkan kami bersiap menyambut maghrib, tak bosan-bosannya bapakku mengajarkan kami mandi dan berwudlu dengan benar, teman-temanku mulai berdatangan, juga beberapa anak yang usianya diatas atau dibawahku, rumah kami memang setiap ba’da maghrib selalu dijadikan tempat mengaji, ini sebenarnya atas inisiatif Bapak beserta warga kampung karena letak mesjid kebetulan cukup jauh, keluargaku menjadi terbantu karenanya, keberadaan pengajian ini menjadikan rumah kami lebih semarak, terkadang kami berkumpul dan bercengkrama menghabiskan penganan sekedarnya sebagai rasa syukur salahseorang teman kami yang ngajinya khatam.

Pak guru, pak mantri atau apapun nama panggilan dari setiap orang kepada bapak, selalu membuatku bangga. Betapa tidak, diusianya yang mulai tidak muda lagi, bapak tetap menjadi ikon di kampung kami. Aneh memang, bapakku cuma seorang kepala SD, bukan kepala desa, juga bukan dukun beranak apalagi seorang dokter. akan tetapi bahkan orang yang mau melahirkan pun datang meminta bantuan, beberapa muridnya yang kurang mampu bahkan ada yang dijadikan anak angkat dan dibantu sekolahnya hingga tamat dan bekerja. Sekalipun demikian, belum pernah aku mendengar bapak menunjukkan ketidakikhlasannya, hingga anak-anaknya tumbuh dewasa, sekolahnya menjadi sekolah teladan dan terpavorit, murid-muridnya telah banyak yang merantau bekerja dan berhasil, bapak tetap saja dalam perilaku dan metodenya mengayomi masyarakat, mengajarkan anak didiknya melek huruf, membaca Al-Qur’an, shalat, mengaji dan beberapa metode praktis hidup bermasyarakat.

Seperempat abad telah berlalu, kini Bapak sudah tidak muda lagi, usianya sudah memasuki masa pensiun, demi mempersiapkan masa pensiunnya bapak mempunyai rencana yang berbeda dibandingkan orang kebanyakan, bertani...ya bagi bapak bertani adalah keinginan kedua hidupnya dibalik ketentraman alam pedesaan, pengalaman hidupnya yang berpuluh tahun mensyaratkan keinginan untuk hidup tenang di usia senjanya. Kini, diusianya yang ke tujuhpuluh satu, bapak masih tetap berprestasi, tenaganya masih kuat sekedar mengayunkan cangkul, jauh dari keramaian dan dikelilingi anak cucu yang setia, semangat bapak tetap tak kenal usia, hasil bertaninya sempat memperoleh penghargaan, bantuan pemerintah bahkan dikunjungi dirjen pertanian, satu lagi pelajaran yang aku ambil atas pribadi bapak, tak kenal menyerah dan putus asa memberikan yang terbaik bagi orang di sekelilingnya, hingga hayat dikandung badan.

Idul Fitri itu telah berlalu, akan tetapi keberadaanmu takkan pernah lekang dalam ingatanku. Teruntuk Bapak di kampung halaman, ingin kusampaikan sembah baktiku yang paling mendalam, ingin kupersembahkan karya terbaikku, takzimku sepenuh hati kepadamu, Bapak!

0 komentar: